Jumat, 11 Februari 2011

teknologi merusak citra pendidikan


Jelas sekali beredarnya video porno artis merupakan tamparan hebat terhadap citra pendidikan di Tanah Air. Tak tahu di mana mereka dulu bersekolah, jika memang benar pelakunya adalah artis yang diduga ternama. Hal itu menunjukkan adanya sikap hidup hedonis dan rendahnya moralitas artis akibat pendidikan yang salah bisa jadi merupakan salah satu penyebab. Artis, melaui teknologi informasi, bukan saja menjadi faktor pendorong runtuhnya moralitas anak muda, melainkan sekaligus merupakan korban dari arus teknologi informasi yang tanpa kontrol. Meskipun kita telah memiliki undang-undang tentang pornografi dan teknologi informasi, paradigma perkembangan teknologi informasi dan kapitalisasi ekonomi dalam kebijakan tayangan televisi dan peredaran film jelas harus dicermati secara saksama oleh para pengambil kebijakan bidang pendidikan di Indonesia. Sebagai basis pendidikan massal paling efektif, tayangan televisi, film dan penggunaan internet memiliki peluang untuk mengubah tatanan budaya bangsa yang dikenal santun dan beradab ke arah yang kurang beradab dan tak mengenal tata krama. Dighe (2000) mengisyaratkan baik konten maupun rancangan program tayangan dalam bentuk film, video, dan musik bisa jadi merupakan manifestasi dan justifikasi superioritas budaya tertentu yang belum tentu semuanya baik.

Hasil riset menunjukkan dampak tayangan televisi, film, dan penyebaran video porno melalui internet juga menambah terjadinya praktik kekerasan, mistisisme, dan hura-hura ala sinetron. Bahkan jika semua fakultas psikologi di Indonesia mau dengan sukarela meriset kondisi mental siswa-siswi di sekolah, pastilah akan didapati banyak sekali anak usia sekolah yang mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang terlalu memamerkan kekerasan dan erotisme sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah ke arah yang tidak sehat (Bennet: 2000; Gidley: 2000). Ketika zaman televisi masih dimonopoli TVRI, mungkin peran pendidik (guru dan orang tua) tak terlalu berat dan melelahkan. Di samping jenis tayangan memang masih terbatas, bentuk tayangan juga masih mempertimbangkan aspek budaya lokal tiap daerah di Indonesia. Tayangan Si Unyil, drama Losmen, dan serial Aku Cinta Indonesia (ACI) begitu digemari dan menjadi rujukan para guru di sekolah dan orang tua di rumah.
Dapat dibayangkan betapa berat dan sulitnya para guru dan orang tua untuk berlomba kreativitas dengan tayangan elektronik ini. Karena itulah, beberapa hasil riset tentang kekhawatiran pengaruh tayangan berbasis teknologi informasi terhadap pendidikan merekomendasikan langkah-langkah metodologis proses belajar-mengajar agar menggunakan pendekatan holistik, pro-active social skills seperti resolusi konflik dan metode cooperative learning. Jika hal itu lalai dibangun, keruntuhan citra pendidikan di Indonesia akan semakin menjadi-jadi; tidak hanya kerusakan di bidang akademis, tetapi dalam waktu bersamaan juga terjadi kerusakan moral secara masif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar